A. Pendahuluan
Nilai
estetika pada dasarnya mengacu pada wacana yang otonum mengenai yang baik dan
indah dalam kesenian. Uraian-uraian mengenai itu dapat dilihat pada karya-karya
seni itu sendiri. Dalam kaitan itu dapat pula pembahasan menginjak pada tataran
kefilsafatan, misalnya mengupas dari mana asal keindahan seni yang dapat
dirasakan orang, ataupun apa hakikat dari kenikmatan seni, serta bagaimana
proses penikmatan seni itu. Wacana estetika yang cenderung dianggap umum dan
lalu dianggap universal karena berangkat dari kebudayaan Barat, mulai dari
sumber-sumber Yunani kuno. Sudah tentu kebenaran estetika tidak dapat
dimonopoli oleh sudut pandang Barat. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat
relativitas yang terkait dengan kekhasan budaya tiap-tiap bangsa. Beberapa bangsa
di dunia telah sejak masa yang jauh silam memperkembangkan pemikiran mengenai
seni dan menuangkannya ke dalam teks tertulis. Di antaranya yang banyak diulas
dalam literatur ilmiah adalah pemikiran yang telah dikembangkan di India.
Tradisi-tradisi
besar telah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara penghayatan seni dan
konseptualisasi. Ternyata bahwa pemikiran atau penghayatan seni tak dapat
terjadi apabila proses konseptualisasi, baik pada diri seniman maupun penikmat
tidak berjalan sempurna. Struktur berkesenian seperti itu bersifat membangun
tradisi. Tradisi seni itu pada gilirannya dapat senantiasa diperluas dan
diperdalam, baik dengan lebih banyak penciptaan maupun dengan lebih banyak
perenungan. Dengan kata lain, adanya kreativitas di dalam tradisi, tidak perlu
harus berarti pembubaran atau perusakan tradisi. Wacana estetiknya pun dapat
berkembang mengikutinya. Berbeda dengan wacana estetika yang cenderung
merupakan sistem yang tertutup itu terdapat apa yang dapat disebut sebagai nilai
seni dalam arti bagaimana orang melihat karya seni itu atau kegiatan
berkesenian dapat terkait dengan hal-hal atau urusan-urusan di luar kesenian
itu sendiri
B. Pandangan Hindu terhadap Estetika
Pandangan
Hindu mengenai estetika ditulis oleh Bharata di sekitar abad V dengan bukunya
Natyasastra. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa rasa lahir dari manunggalnya
situasi ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang
senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan secara
terus-menerus. Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni
untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau
perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat
pegangan itu adalah sebagai berikut: (1) rupabheda, artinya pembedaan bentuk,
maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang
melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang
berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon
sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang
perempuan, dan lain sebagainya; (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam
penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide
yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan bunga- bunga dan
buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan
dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; (3) pramana,
artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya
maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh
mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide
yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini
proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip
pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam
penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan;
(4) wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi
pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur
warna, dan pemakaian warna secara tepat; (5) bhawa yaitu dapat diartikan
sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini,
misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga
penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan
yang dimaksudkan; dan (6) lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau
greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang
memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni
akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi
batinnya (lihat Sedyawati 1981:14 dan Sumardjo 2000:337).
Kesesuaian-kesesuaian
serta penerapan kaidah seni secara ”lintas-media” yang telah dikaji itu mungkin
disebabkan oleh: (a) adanya suatu filsafat dasar seni yang dianut bersama dalam
semua bidang kesenian, misalnya yang terpusat pada konsep “rasa”, dan (b)
adanya pergaulan akrab selain menyimak di antara para seniman berbagai bidang
seni, yaitu mereka dapat saling meminjam kaidah. Hubungan saling meminjam
kaidah antar bidang seni itu tidak hanya terjadi dalam lingkup budaya Bali
kuna, tetapi terjadi pula pada kebudayaan Bali yang hidup hingga sekarang.
Kiranya hubungan itu menjadi bukan lagi saling pinjam, melainkan saling tindih.
Seni rupa naratif, misalnya, yang hanya tumbuh dalam gaya wayang (lukisan
Kamasan, wayang beber), menjadi tak ada lagi bedanya dengan boneka-boneka
wayang yang memang digunakan dalam penyajian teatrikal.
Kaidah-kaidah
seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks
Hindu berbahasa Sansekerta, yang tentunya diterapkan di dalam praktik mencipkan
karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun
seni tari dan teater, karawitan dan sastra. Kesenian apapun bentuknya, pada
dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman. Sebagai hasil olah rasa, cipta,
dan karsa seniman, kesenian tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan nilai luhur
budaya, termasuk pula estetika yang hidup dan berkembang di lingkungan
masyarakat tempat asal seni yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan
hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat muatan estetis yang
dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.
C. Estetika menurut Umat Hindu di Bali
Agama
Hindu merupakan unsur yang paling dominan sekaligus roh budaya masyarakat Bali.
Agama Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali.
Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan
ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang
bersumber dari agama Hindu. Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis
dalam bahasa Yunani (Dickie 1976) dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah
yang timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik 1999:5). Ada banyak
batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai estetika dan batasan yang
diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan ini berkaitan dengan
pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli, hampir semua
mengarah ke satu arah yakni menyangkut rasa indah yang membuat kita senang,
masgul, terkesima, terpesona, bergairah dan bersemangat. Disadari atau tidak di
dalam kehidupan sehari-hari semua umat manusia yang masih terikat dengan
keduniawian membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan mengekspresikan
diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam
bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis. Kebutuhan manusia akan rasa
kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek
bernilai estetis. Estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu
mengacu kepada dua sisi yang terkait yakni objektivitas dan subyektivitas. Sisi
yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek
estetis, sedangkan sisi yang ke dua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang
ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis yang
optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif ini.
Penilaian
terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik-
buruk) yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas
keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di
dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh
sebab itu, di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan
kesenangan sesuai dengan norma-norma baik-buruk yang berlaku.
Estetika
Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang
diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab
suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting
dalam estetika Hindu seperti; konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep
keseimbangan. Konsep Kesucian (Shiwan) pada intinya menyangkut nilai-nilai
ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu, seperti yang
terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai
spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para pemuka agama Hindu
menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari segala
keindahan. Di India, Tuhan dalam wujudnya sebagai Siwa Nataraja dengan tari
kosmisnya dikatakan sebagai pencipta musik dan tari sekaligus pencipta seni
yang Maha Agung. Atas kepercayaan ini umat Hindu percaya bahwa segala sesuatu
yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan.
Sebagai
insan yang percaya akan kemahaesaan Hyang Widhi, orang Hindu percaya bahwa
kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Untuk itu, sudah
menjadi kewajiban umat Hindu untuk mempersembahkan kembali hasil ciptaan-Nya.
Di sini kita melihat kesenian disajikan kepada Tuhan. Semua jenis kesenian yang
merupakan persembahan kepada Tuhan dikatagorikan sebagai kesenian sakral. Pada
saat yang bersamaan kesenian yang sama menjadi sajian kepada manusia (human
audience), sebagai suatu persembahan dalam bentuk tontonan atau hiburan bagi
masyarakat. Semua jenis kesenian yang disajikan sesama manusia dikatagorikan
kesenian sekuler. Patut dicatat bahwa dalam derajat tertentu semua kesenian ini
memiliki kekuatan spiritual, hanya ruang dan tempat penyajiannya mempunyai
kualitas “spiritual” yang berbeda.
Di
kalangan masyarakat Hindu di Bali, kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam
niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok: (1) kesenian wali (sacred
religious art), dan (2) kesenian bebali (ceremonial art). Kesenian wali
mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itulah
telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Yadnya
merupakan korban suci mencakup penyerahan diri dan olah spiritual lainnya yang
sering kali melibatkan upacara-upacara ritual. Berdasarkan atas keyakinan bahwa
kesenian ciptaan Tuhan, seniman Bali menjadikan kesenian sebagai sebuah
persembahan atau yadnya, untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Dengan
yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja dapat memuaskan serta
memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, melainkan juga sebagai
wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu
sendiri, yaitu Tuhan yang sering dikatakan memiliki sifat-sifat satyam
(kebenaran), shiwan (kesucian), dan sundaram (keindahan).
Kebenaran
(satyam) mencakup nilai kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan. Sesuai dengan
ajaran agama Hindu, persembahan dan yadnya yang dilakukan masyarakat Hindu di
Bali, dilaksanakan dengan penuh kejujuran hati, rasa tulus, dan niat yang
sungguh-sungguh. Dengan ini dimaksudkan bahwa persembahan atau yadnya apa yang
mereka lakukan, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, bukan karena
pura-pura untuk mendapatkan simpati masyarakat, atau atas dasar rasa pamrih
supaya mendapat pahala yang lebih besar dari Tuhan atau imbalan lainnya dari
masyarakat, serta melakukannya tidak dengan disertai rasa bakti yang tulus.
Hanya atas dasar kejujuran seperti inilah persembahan dan yadnya yang dilakukan
masyarakat akan diterima oleh Tuhan.
Keseimbangan
yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terrefleksi dalam beberapa dimensi.
Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian baik dalam seni dua
dimensi dan seni tiga dimensi. Dengan konsep keseimbangan ini dapat dilihat
bagaimana penganut agama Hindu menggunakan nilai-nilai estetik untuk
menciptakan dan mencapai kehidupan yang damai. Refleksi estetis dengan konsep
keseimbangan yang berdimensi dua dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang
sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim
disebut rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula semangat
kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan interaksi dan
persaingan.
Refleksi
keseimbangan dalam seni tiga dimensi sangat terkait dengan konsep kosmologi
Hindu yang membagi dunia ini menjadi tiga bagian: atas, tengah, dan bawah yang
disebut tri bhuwana. Dunia bawah disebut bhur loka, adalah dunia bhutakala,
dunia tengah disebut bhwah loka adalah dunia antara manusia dengan seisi alam
semesta, swah loka adalah dunia Tuhan dan para Dewata. Karena alam atas dan
alam bawah adalah alam maya, maka keduanya disebut alam niskala, sedangkan
dunia tengah yang nyata disebut sebagai alam sekala. Konsep ini sangat
mempengaruhi cara seniman Bali dalam menggunakan ruang vertikal dalam karya
seni mereka.
D. Simpulan
Berdasarkan
uraian singkat di atas maka, berikut ini disampaikan beberapa
simpulan;
Pertama, pandangan Hindu terhadap estetika tertuang dalam buku Nitya
Sastra. Rasa lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan
reaksi dan keadaan batin para pelaku berkesenian. Dalam rumusan estetika Hindu,
suatu hasil seni untuk bisa dianggap indah dan berhasil apabila dapat memenuhi
sad angga (enam rincian) yaitu; (1) rupabheda, (2) sadrsya, (3) pramana, (4)
wanikabangga, (5) bhawa, dan (6) lawanya.
Kedua,
kosmologi budaya masyarakat Bali dalam kehidupannya senantiasa berorientasi
terhadap keseimbangan alam jagad raya baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dan
sikap ini diantisipasi dengan melakukan laku upacara ritual dan etika dalam
berhubungan bermasyarakat yakni hubungan serasi dengan Hyang Widi, dengan alam
lingkungan, dan hubungan harmonis dengan sesama manusia.
Ketiga,
estetika Hindu masyarakat Bali adalah cara pandang tentang keindahan yang
diikat oleh nilai-nilai spiritual yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kitab
suci Weda. Prinsip-prinsip keindahan didasari oleh konsep-konsep kesucian,
kebenaran, dan keseimbangan. Implementasi estetika masyarakat Bali menunjukkan
bahwa nilai-nilai kebenaran selalu disajikan melalui lakon-lakon dalam
sendratari, drama gong, lukisan, yang dibuat atau ditata sedemikian rupa dengan
mempertarungkan dua pihak; yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang
jujur dan sebagainya. Lakon ini biasanya dipentaskan dalam pertunjukan wayang
kulit, drama tari Calonarang dan lain-lain, dan biasanya berakhir dengan
kemenangan di pihak yang benar. Konsep-konsep lain yang mendukung estetika
Hindu di Bali, ialah konsep kepercayaan, skala-niskala, trihita karana, desa
kalapatra, karmaphala, dan konsep taksu dan jengah.
E. Daftar Pustaka
Bagus, I G N. 2002. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia(Kebudayaan Bali). Koentjaraningrat (Ed). Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Bandem I Made dan Nyoman Rembang. 1976.
Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar: Proyek Pengalian,
Binaan dan Pengembangan Seni Klasik Tradisional dan Baru.
Bandem IM and Frederik Eugene de Boer.
1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kualalumpur: Oxford
University Press.
Covarrubias M. 1972. Island of Bali. New
York: Oxford University Press
Daniel, T (Ed), 1993. Rahasia Pembangunan Bali.
Jakarta : Harian Umum Suara Karya dan Cita Budaya.
Djelantik, AAM. 2004. Estetika Sebuah
Pengantar. Bandung : Diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Eisemar, F B. 1989. Sekala and Niskala,
Volume I : Essays On Relegius, Ritual and Art. Singapore : Periplus Editions.
--------------. 1990. Sekala &
Niskala Vol II: Essays on Society, Tradition, Craft. Singapore :
Periplus Editions.
Ginarsa. K . 1977.
Gambar Lambang. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.
Kanta, I M. 1977. Proses
Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar : Sasana Budaya Bali.
Kartika S, D dan Nanang Ganda Perwira.
2004. Pengantar Estetika. Bandung: Penerbit Rekayasa Sains Press.
Puja, I G. 1984. Agama Hindu. Jakarta:
Mayasari.
Sedyawati Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Penerbit
Sinar Harapan. Soedarso. SP. 1990. Tinjauan Seni sebuah Pengantar untuk
Apresiasi Seni. Yogyakarta : Saku Dayar Sana.
Soedarsono,
1972. Djawa dan Bali dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutrisno, M. FX dan Verhaak Christ. 1993.
Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Titib, I M. 2003. Teologi &
Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Yudha IBG (Ed). 2003. Estetika Hindu dan
Pembangunan Bali (Simbol, Filsafat, Signifikansinya dalam Kesenian), Yudha IBG
(Ed). Denpasar: Percetakan Mabhakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar