KEMARAU PANJANG DRAMA GONG
Oleh : I Gede Tilem Pastika
Salah satu varian seni pertunjukan Bali yang
sempat mengalami masa keemasan di Bali adalah drama gong. Drama gong merupakan
seni drama berdialog yang memadukan berbagai elemen seni seperti : gerak, akting,
gamelan, cerita, tata pentas, yang berakar pada seni pertunjukan Bali
tradisional maupun non tradisional (Dibia, 1999: 168). Seorang tokoh seni
pertunjukan dari Puri Abianbase, Gianyar yaitu Anak Agung Raka Payadnya
merupakan pencipta dari drama gong pada tahun 1966. Sebelum dikenal dengan nama
drama gong, pada mulanya seni berdialog ini dikenal dengan nama drama klasik
dengan lakon pertama yang dibawakan adalah lakon Jayaprana yang dibawakan oleh Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma. Pada
saat pementasan lakon Jayaprana di
Banjar Babakan Sukawati, Gianyar nama “dra-ma klasik” tersebut dirubah menjadi drama
gong” oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji. Karena pada pementasanya drama ini
menggunakan iringan gong kebyar yang
mengikat pertunjukan tersebut (Dibia, 2012: 135).
Drama
gong yang sempat menjadi hiburan primadona antara tahun 1970 hingga 1980-an,
sangat digemari dan diburu pementasanya oleh masyarakat pada saat itu. Menurut
penuturan I Wayan Sugita yang memerankan patih agung pada drama gong mengatakan
bahwa pada saat masa jaya dari drama gong, para pemain atau pelaku dari drama
gong tersebut mempunyai pamor yang sangat tinggi, dapat dikatakan seperti selebriti
yang dielu-elukan oleh banyak penggemar-nya. Akan tetapi sebaliknya dengan
peran antagonis yang dibawakan oleh Sugita, beliau sangat dibenci ketika diatas
pentas bahkan ada yang mengajaknya berkelahi dan melemparkan beberapa benda
keatas panggung seperti ; sendal, batu, ranting kayu dan lain sebagainya
(wawancara tgl 1 Januari 2015). Selain itu pada masa kejayaan drama gong, seni
pertunjukan drama gong juga memiliki fungsi lain, selain menjadi media hiburan
dan pertunjukan. Salah seorang penabuh drama gong yang sempat ikut tergabung
dalam Sekaa Kerti buana yaitu Bapak Wayan Jumu asal Bayad, Tegalalang mengatakan
bahwa pementasan drama gong pada saat itu bisa mendapat untung yang banyak dan
bisa digunakan sebagai penggalian dana untuk pembangunan Balai Banjar, karena
pada saat pertunjukan drama gong diadakan pihak penyelenggara mengadakan ticketing dengan harga tertentu
untuk dapat menonton pertunjukan drama gong (wawancara, 29 Desember 2014).
Masyarakat
modern yang membutuhkan segala sesuatu yang instan dan mudah didapat juga
berpengaruh terhadap keingi-nan masyarakat untuk menda-patkan hiburan. Menonton
Drama Gong yang harus duduk berjejal di bangku penonton dan durasi pertunjukan
yang lama membuat drama gong tidak masuk dalam pilihan hiburan masyarakat saat
ini. Masyarakat yang lebih menyukai hiburan yang bersifat lucu seperti lawak,
membuat drama gong sedikit menda-patkan porsi di hati masyarakat, karena
struktur, dan alur dramatik dari drama gong yang dikategorikan dalam melo-drama.
Banyak seniman drama gong berusaha untuk
mengembalikan ketenaran drama gong seperti dulu, mulai dari
mempersingkat beberapa adegan, menambah adegan lucu sesuai keinginan masyarakat,
dan menambahkan hal-hal asing yang membuat esensi dari drama gong itu pudar
dengan sendirinya. Hal tersebut dapat berakibat sangat fatal karena generasi
muda pada saat ini sudah disuguhkan suatu jenis drama gong yang kehilangan
esensinya. Bahkan pada beberapa seniman muda Bali, bahkan ada yang tidak
mengetahui apa itu “Drama Gong”. Namun
kini sejak diparadekanya drama gong dalam ajang Pesta Kesenian Bali, kini drama
gong sudah mulai menggeliat,menurut pengamatan Sugita sebagai pengamat drama gong
di Pesta Kesenian Bali, terutama di Kabupaten Gianyar, Klungkung, Karangasem
dan Bangli (wawancara, 1 Januari 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar