Pages

Selasa, 10 Maret 2015

Kemarau Panjang Drama Gong


KEMARAU PANJANG DRAMA GONG
Oleh : I Gede Tilem Pastika
   Salah satu varian seni pertunjukan Bali yang sempat mengalami masa keemasan di Bali adalah drama gong. Drama gong merupakan seni drama berdialog yang memadukan berbagai elemen seni seperti : gerak, akting, gamelan, cerita, tata pentas, yang berakar pada seni pertunjukan Bali tradisional maupun non tradisional (Dibia, 1999: 168). Seorang tokoh seni pertunjukan dari Puri Abianbase, Gianyar yaitu Anak Agung Raka Payadnya merupakan pencipta dari drama gong pada tahun 1966. Sebelum dikenal dengan nama drama gong, pada mulanya seni berdialog ini dikenal dengan nama drama klasik dengan lakon pertama yang dibawakan adalah lakon Jayaprana yang dibawakan oleh Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma. Pada saat pementasan lakon Jayaprana di Banjar Babakan Sukawati, Gianyar nama “dra-ma klasik” tersebut dirubah menjadi drama gong” oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji. Karena pada pementasanya drama ini menggunakan iringan gong kebyar yang mengikat pertunjukan tersebut (Dibia, 2012: 135).
Drama gong yang sempat menjadi hiburan primadona antara tahun 1970 hingga 1980-an, sangat digemari dan diburu pementasanya oleh masyarakat pada saat itu. Menurut penuturan I Wayan Sugita yang memerankan patih agung pada drama gong mengatakan bahwa pada saat masa jaya dari drama gong, para pemain atau pelaku dari drama gong tersebut mempunyai pamor yang sangat tinggi, dapat dikatakan seperti selebriti yang dielu-elukan oleh banyak penggemar-nya. Akan tetapi sebaliknya dengan peran antagonis yang dibawakan oleh Sugita, beliau sangat dibenci ketika diatas pentas bahkan ada yang mengajaknya berkelahi dan melemparkan beberapa benda keatas panggung seperti ; sendal, batu, ranting kayu dan lain sebagainya (wawancara tgl 1 Januari 2015). Selain itu pada masa kejayaan drama gong, seni pertunjukan drama gong juga memiliki fungsi lain, selain menjadi media hiburan dan pertunjukan. Salah seorang penabuh drama gong yang sempat ikut tergabung dalam Sekaa Kerti buana yaitu Bapak Wayan Jumu asal Bayad, Tegalalang mengatakan bahwa pementasan drama gong pada saat itu bisa mendapat untung yang banyak dan bisa digunakan sebagai penggalian dana untuk pembangunan Balai Banjar, karena pada saat pertunjukan drama gong diadakan pihak penyelenggara mengadakan ticketing dengan harga tertentu untuk dapat menonton pertunjukan drama gong (wawancara, 29 Desember 2014).
 Kejayaan dari drama gong tidak terlepas karena minimnya media hiburan masyarakat pada saat itu. Lain halnya dengan drama gong pada saat ini. Drama gong pada saat ini dapat dikatakan mati suri. Ketenaran drama gong yang heboh pada saat itu tidak terdengar lagi gaungnya. Dapat diamati dari jarangnya pementasan drama gong di beberapa event ataupun Pujawali di Pura, kendati dipentaskan di Art Centre Denpasar, Drama Gong tidak lagi mendapatkan tempat spesial seperti panggung terbuka Ardha Candra, karena pada saat masa kejayaanya pementasan drama gong rutin diselenggarakan di Ardha Candra dengan penonton yang membludak. Namun beberapa tahun belakangan pementasan drama gong di Art Centre hanya dipentaskan di beberapa panggung seperti panggung Ayodya, dan Ratna Kanda. Banyak faktor yang dirasa menyebabkan hal tersebut. Dibia dalam bukunya yang berjudul Geliat Seni Pertunjukan menyebutkan bahwa hilangnya pamor dari drama gong tidak terlepas dari pelaku drama gong itu sendiri, wibawa serta keagungan drama gong yang dahulu heboh sekarang sudah cenderung menjadi penonjolan adegan-adegan lucu dan semakin dilanggarnya tata krama dan tata bahasa oleh pelakunya sendiri (2012: 142). Selain itu perkembangan media informasi dan media hiburan juga berdampak besar bagi eksistensi dari drama gong. Adanya televisi, internet, tablet dan media elektronik lainya membuat masyarakat khususnya di Bali mengalami pergeseran minat dari tontonan drama gong menjadi tontonan hiburan di televisi.
Masyarakat modern yang membutuhkan segala sesuatu yang instan dan mudah didapat juga berpengaruh terhadap keingi-nan masyarakat untuk menda-patkan hiburan. Menonton Drama Gong yang harus duduk berjejal di bangku penonton dan durasi pertunjukan yang lama membuat drama gong tidak masuk dalam pilihan hiburan masyarakat saat ini. Masyarakat yang lebih menyukai hiburan yang bersifat lucu seperti lawak, membuat drama gong sedikit menda-patkan porsi di hati masyarakat, karena struktur, dan alur dramatik dari drama gong yang dikategorikan dalam melo-drama. Banyak seniman drama gong berusaha untuk  mengembalikan ketenaran drama gong seperti dulu, mulai dari mempersingkat beberapa adegan, menambah adegan lucu sesuai keinginan masyarakat, dan menambahkan hal-hal asing yang membuat esensi dari drama gong itu pudar dengan sendirinya. Hal tersebut dapat berakibat sangat fatal karena generasi muda pada saat ini sudah disuguhkan suatu jenis drama gong yang kehilangan esensinya. Bahkan pada beberapa seniman muda Bali, bahkan ada yang tidak mengetahui apa itu “Drama Gong”.  Namun kini sejak diparadekanya drama gong dalam ajang Pesta Kesenian Bali, kini drama gong sudah mulai menggeliat,menurut pengamatan Sugita sebagai pengamat drama gong di Pesta Kesenian Bali, terutama di Kabupaten Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Bangli (wawancara, 1 Januari 2015).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar