Pages

Kamis, 26 Maret 2015

Tari Gambyong Pareanom


BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang
Kebudayaan Jawa terbentuk oleh dua tradisi yang disebut dengan tradisi besar (Kebudayaan tinggi) dan tradisi kecil (Kebudayaan rendah). Keduanya memunyai perbedaan yaitu tradisi besar diolah di kuil-kuil dan dapat pula dikatakan kebudayaan peradapan kota, sedangkan tradisi kecil berlangsung didalam komunitas desa. Secara singkat dapat disebut tradisi besar terdapat di istana dan kota, sedangkan tradisi kecil di daerah pedesaan. Namun kedua tradisi tersebut saling bergantung dan mempengaruhi.
Seperti contoh tari gambyong yang merupakan tradisi kecil yang berkembang menjadi tradisi besar. Pada mulanya tari ini lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang kemudian berkembang di istana. Tari gambyong memiliki berberapa jenis yaitu Gambyong, Gambyong Pareanom dan  Gambyong Padhasih (Nyi Bei Mintoraras), Gambyong Pancerana (S.Ngaliman), Gambyong Mudhatama (Sunarno), dan Gambyong Pangkur  Langenkusuma ( R.T Rono Suripto ).  Ada dua versi tari gambyong pareanom  yaitu versi Mangkunegaraan dan versi ASKI/PKJT. Dalam menganalisis kali ini menggunakan Tari gambyong pareanom versi ASKI/PKJT, karena struktur gerak dan iringannya cukup mudah serta video pertunjukannya mudah didapat dari internet dan buku pandauan. Sehingga dalam menganalisis tari ini lebih mudah dan cepat dalam penyelesaiannya.


2.     Rumusan Masalah
2.1  Bagaimana struktur geak tari gambyong pareanom ?
2.2  Apa saja nama gerakan yang ada pada Gendhing Gambirsawit kethuk 4 kerep sepanjang 2 gong ?
2.3  Apa saja fungsi pada gerakan tersebut ?

3.     Tujuan
3.1  Mengetahui dan menambah pengetahuan tentang tari gambyong pareanom
3.2  Mengetahui struktur gerak yang ada pada setiap iringan gendhing tari gambyong pareanom
3.3  Melestarikan tari gambyong pareanom

BAB II
PEMBAHASAN

a.     Sejarah
Istilah gambyong mulai digunakan dalam serat Centhini yang ditulis abad XVIII. Bentuk pertunjukan tari teledhek yaitu menampilakan penari dan penyanyi (Tembang) atau sering disebut dengan angigel angidung.  Nama gambyong semula adalah nama seorang warangganaI yang pandai menari dengan sangat indah dan lincah yaitu Mas Ajeng Gambyong. Pada zaman pemerintahan Susuhan Paku Buwono IV, tari gambyong mendapatkan perubahan pada koreografinya dengan mengubah gerakan dari tari teledhek menjadi gerakan yang sesuai dengan kaedah-kaedah pada tarian keraton. Setelah itu, tahun 1950 munculah tari gambong pareanom susunan dari Nyi Bei Montoraras. Tari ini memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk tari gambyong sebelumna, baik dari susunan tari, iringan, tata rias, dan busananya. Bentk tari gambyong pareanom ini disusun berdasarkan tari Serimpi, tari Golek, dan Gambyong dengan berpijak pada kaedah tari istana.
Secara lahiriah tari gambyong pareanom menampilkan tentang keprigelan wanita yang meliputi tregel (lincah), kenes (genit), kewes (lemah gemulai), luwes (tidak canggung), prenes (lincah), dan berag (gembira). Fungsi dari tari gambyong pareanom adalah sebagai hiburan masyarakat Jawa yang disajika dalam acara hari ulang tahun kenegaraan, pernikahan, dan khitanan. Fungsi tari gambyong dalam kehidupan masyarakat dulunya berfungsi sebagai pertunjukan hiburan bagi Sinuhun Paku Buwono keenam dan tari untuk penyambutan tari penyambutan ketika ada tamu kehormatan berkunjung ke Kesunanan Surakarta , sedangkan sekarang berkembang sebagai hiburan pertunjukan bagi masyarakat luas Biasanya, tari Gambyong dimainkan ketika warga Jawa Tengah menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Sebagai promosi budaya Jawa Tengah, Gambyong juga seringkali dimainkan di beberapa daerah selain Surakarta.

b.     Struktur Gerak dan Iringan
Gerak tangan pada Tari Gambyong Pareanom versi ASKI/PKJT dengan Ciblon gendhing Gambirsawit, kethuk 2 kerep 2 gongan :
1.     Batangan, pada 3 ½ gatra kenong I
2.     Magak, pada ½ gatra kenong I
3.     Ukel pakis, pada ½ gatra kenong 2 dan 2 ½  gatra kenong III
4.     Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong III
5.     Penthangan kanan ogek lambung, pada 2 ½ gatra kenong III
6.     Magak, pada ½ gatra kenong IV
7.     Kawilan menthang kiri, pada 2 ½ gatra kenong IV
8.     Tumpang Tali glebegan, pada 1 gatra kenong IV
9.     Tumpang Tali glebegan (lanjutan), pada 2 ½ gatra kenong I
10.  Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong I
11.  Magak, pada ½ gatra kenong I
12.  Tawing taweng ogek lambung, pada 1 gatra kenong I dan 2 ½ gtra kenong II
13.  Singget ukel karna, pada 2 ½ gatra kenong II
14.  Magak, pada ½ gatra kenong II
15.  Tumpang tali kengseran, pada 1 gatra kenong II dan 2 ½ gatra kenong III
16.  Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong III
17.  Magak, pada ½ gatra kenong IV
18.  Kawilan menthang kiri, pada 2 ½ gatra kenong IV

c.     Definisi dan Fungsi
1.     Ciblon
Merupakan sebuah iringan pada bagian tari gambyong ( variasi kendangan ) atau berketimpungan yang menggambarkan persetubuhan pria dan wanita.
2.     Batangan
Istilah “batangan” berasal dari kata mbatang (bahasa Jawa) yang mempunyai arti meramalkan dan dalam konteks ini berarti meramalkan masa depan sang bayi. Gerak ini dilakukan dengan berpindah tempat. Atau bisa dikatakan, mengungkapkan tentang anak yang diharapkan dan akan dilahirkan. Gerakannya mengalun kedua lengan, dilakukan brgantian oleh lengan kanan dan kiri, yang diikuti gerak vertikal dari seluruh tubuh
3.     Magak
Berdiri dalam posisi tanjak, lengan kiri terentang ke sisi tubuh, dengan siku kanan ditekuk, tangan kanan di depan pusar, dan disertai kepala
4.     Ukel pakis
Kedua tangan di depan pusar, tnagan kiri ngithing dan telapak tangan menghadap ke bawah. Tanga kanan diputar di bawah tangan kiri, telapak tangan menghadap k eats dan ke bawah dalam gerak yang berkesinambungan. Gerak ini dilakukan dengan kombinasi gerak tubuh dan kepala mengikuti pola irama permainan kendang. Gerak ini menggambarkan kedamaian hidup.
5.     Singget ukel karna
Gerak tangan kanan mengibaskan sampur ke samping kanan, kemudian diangkat di samping telinga kanan dan memutar pergelangan tangannya diikuti hentakan kaki kiri. Gerak ni dignakan sebagai transisi rangkaina gerak pokok dengan berikutnya. Gerakan ini menggambarkan kemarahan atau sekatan.
6.     Penthangan kanan ogek lambung
7.     Kawilan menthang kiri
Bediri dengan kedua lutut ditekuk, lengan kiri terentang ke samping, sementara itu lengan kanan dilipat dengan tangan di depan pusar aau memegangi sampur, lutut diayun turun naik dengan melipat dan meluruskan sendi lutut secara lembut, dengan mengikuti irama kendang
8.     Tumpang tali glebegan
Tumpang ( terletak di atas ), maju kaki kanan, tangan kanan bergerak ke pinggul kiri dan tangan kiri di atas tangan kanan, dengan telapak tangan saling berhadapan dan kedua siku melipat, tubuh condong ke kiri, kemudian maju kiri, tangan kiri bergerak ke pinggul kiri dan tangan kanan di atas tangan kiri. Gerakan ini dipadukan dengan membalikan tubuh ke samping kanan dan kiri. Menggambarkan kesenangan dari apa yang diharapkan.
9.     Tawing taweng ogek lambung
Tangan kanan dan kiri berada di depan dada dengan sikap ngrayung, dilakukan secara bergantian di atas dan di bawah dipadukan dengan gerak badan goyah ke kanan dan ke kiri. Gerak ini menggambarkan kesigapan dari pasangan dan kebahagiaan.
10.  Tumpang tali kengseran
Gerakan ini sama dengan Tumpang tali glebegan namun tumpang tali kengseran dipadukan dengan gerak kengser yaitu gerak menyeret atau menggeser kaki ke aping dengan mengangkat berganti-ganti tumit dan jari-jari kaki. Gerak ini menggambarkan tergeliat atau terpelecok.

Estetika Menurut Para Ahli


Definisi tentang estetika menurut para ahli :
1.     Menurut Leo Tolstoy (Rusia), Dalam bahasa Rusia tcrdapat istilah yang serupa dengan keindahan yaitu “krasota”, artinya that wich pleases the sigh atau suatu yang mendatangkan rasa yang menyenangkan bagi yang melihat dengan mata. Bangsa Rusia tidak punya pengertian keindahan untuk musik. Bagi bangsa Rusia yang indah hanya yang dapat dilihat mata (Leo Tolstoy). Jadi menurut Leo Tolstoy, keindahan itu adalah sesuatu yang mendatangkan rasa menyenangkan bagi yang melihat.
2.     Menurut Alexander Baurngarten (Jerman), Keindahan itu dipandang sebagai keseluruhan yang merupakan susunan yang teratur daripada bagian-bagian, yang bagian-bagian itu cara hubungannya satu dengan yang lain, juga dengan keseluruhan. (Beauty is on of parts in their manual relations and in their relations to the whole).
3.      Menurut Sulzer adalah Yang indah iu hanyalah yang baik. Jika belum haik, ciptaan itu belum indah. Keindahan hartis dapat memupuk perasaan moral. Jadi ciptaan amoral adalah tidak indah, karena tidak dapat digunakan untuk memupuk moral.
4.     Menurut Winchelman, Keindahan itu dapat terlepas sama sekali daripada kebaikan.
5.      Menurut Shaftesbury (Jerman), Yang indah itu adalah yang memiliki proporsi yang harmonis. Karena yang proporsinya harmonis itu nyata, maka keindahan itu dapat disamakan dengan kebaikan. Yang indah adalah yang nyata dan yang nyata adalah yang baik.
6.     Menurut Humo (Inggris), Keindahan adalah sesuatu yang dapat mendatangkan rasa senang.
7.      Menurut Hemsterhuis (Belanda), Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang dan itu adalah yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengamatan-pengamatan yang mcnycnangkan itu.
8.     Menurut Emmanuel Kant, Meninjau keindahan dan 2 segi. Pertama dan segi arti yang subyektif dan kedua dan segi arti yang obyektif.
-       Subyektif.
Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
-       Obyektif.
Keserasian dan suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, scjauh obyek ini tidak ditinjau dan segi gunanya.
9.     Menurut at – Ghazzali,  Keindahan sesuatu benda terletak di dalam perwujudan dan kesempurnaan, yang dapat dikenali kembali dan sesuai dengan sifat bcnda itu. Bagi setiap benda tentu ada perfeksi yang karakteristik, yang berlawanan dengan itu dapat dalam keadaan-keadaan tertenlu mcnggan tikan perfeksi karakteristik dari benda lain. Apabila semua sifat-sifat yang mungkin terdapat di dalam sebuah benda itu merupakan representasi keindahan yang bernilai paling tinggi; apabila hanya sebagian yang ada, maka benda itu mempunyai nilai keindahan sebanding dengan nilai-nilai keindahan yang terdapat di dalamnya.
By: Asri Rahayu

Selasa, 10 Maret 2015

Kemarau Panjang Drama Gong


KEMARAU PANJANG DRAMA GONG
Oleh : I Gede Tilem Pastika
   Salah satu varian seni pertunjukan Bali yang sempat mengalami masa keemasan di Bali adalah drama gong. Drama gong merupakan seni drama berdialog yang memadukan berbagai elemen seni seperti : gerak, akting, gamelan, cerita, tata pentas, yang berakar pada seni pertunjukan Bali tradisional maupun non tradisional (Dibia, 1999: 168). Seorang tokoh seni pertunjukan dari Puri Abianbase, Gianyar yaitu Anak Agung Raka Payadnya merupakan pencipta dari drama gong pada tahun 1966. Sebelum dikenal dengan nama drama gong, pada mulanya seni berdialog ini dikenal dengan nama drama klasik dengan lakon pertama yang dibawakan adalah lakon Jayaprana yang dibawakan oleh Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma. Pada saat pementasan lakon Jayaprana di Banjar Babakan Sukawati, Gianyar nama “dra-ma klasik” tersebut dirubah menjadi drama gong” oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji. Karena pada pementasanya drama ini menggunakan iringan gong kebyar yang mengikat pertunjukan tersebut (Dibia, 2012: 135).
Drama gong yang sempat menjadi hiburan primadona antara tahun 1970 hingga 1980-an, sangat digemari dan diburu pementasanya oleh masyarakat pada saat itu. Menurut penuturan I Wayan Sugita yang memerankan patih agung pada drama gong mengatakan bahwa pada saat masa jaya dari drama gong, para pemain atau pelaku dari drama gong tersebut mempunyai pamor yang sangat tinggi, dapat dikatakan seperti selebriti yang dielu-elukan oleh banyak penggemar-nya. Akan tetapi sebaliknya dengan peran antagonis yang dibawakan oleh Sugita, beliau sangat dibenci ketika diatas pentas bahkan ada yang mengajaknya berkelahi dan melemparkan beberapa benda keatas panggung seperti ; sendal, batu, ranting kayu dan lain sebagainya (wawancara tgl 1 Januari 2015). Selain itu pada masa kejayaan drama gong, seni pertunjukan drama gong juga memiliki fungsi lain, selain menjadi media hiburan dan pertunjukan. Salah seorang penabuh drama gong yang sempat ikut tergabung dalam Sekaa Kerti buana yaitu Bapak Wayan Jumu asal Bayad, Tegalalang mengatakan bahwa pementasan drama gong pada saat itu bisa mendapat untung yang banyak dan bisa digunakan sebagai penggalian dana untuk pembangunan Balai Banjar, karena pada saat pertunjukan drama gong diadakan pihak penyelenggara mengadakan ticketing dengan harga tertentu untuk dapat menonton pertunjukan drama gong (wawancara, 29 Desember 2014).
 Kejayaan dari drama gong tidak terlepas karena minimnya media hiburan masyarakat pada saat itu. Lain halnya dengan drama gong pada saat ini. Drama gong pada saat ini dapat dikatakan mati suri. Ketenaran drama gong yang heboh pada saat itu tidak terdengar lagi gaungnya. Dapat diamati dari jarangnya pementasan drama gong di beberapa event ataupun Pujawali di Pura, kendati dipentaskan di Art Centre Denpasar, Drama Gong tidak lagi mendapatkan tempat spesial seperti panggung terbuka Ardha Candra, karena pada saat masa kejayaanya pementasan drama gong rutin diselenggarakan di Ardha Candra dengan penonton yang membludak. Namun beberapa tahun belakangan pementasan drama gong di Art Centre hanya dipentaskan di beberapa panggung seperti panggung Ayodya, dan Ratna Kanda. Banyak faktor yang dirasa menyebabkan hal tersebut. Dibia dalam bukunya yang berjudul Geliat Seni Pertunjukan menyebutkan bahwa hilangnya pamor dari drama gong tidak terlepas dari pelaku drama gong itu sendiri, wibawa serta keagungan drama gong yang dahulu heboh sekarang sudah cenderung menjadi penonjolan adegan-adegan lucu dan semakin dilanggarnya tata krama dan tata bahasa oleh pelakunya sendiri (2012: 142). Selain itu perkembangan media informasi dan media hiburan juga berdampak besar bagi eksistensi dari drama gong. Adanya televisi, internet, tablet dan media elektronik lainya membuat masyarakat khususnya di Bali mengalami pergeseran minat dari tontonan drama gong menjadi tontonan hiburan di televisi.
Masyarakat modern yang membutuhkan segala sesuatu yang instan dan mudah didapat juga berpengaruh terhadap keingi-nan masyarakat untuk menda-patkan hiburan. Menonton Drama Gong yang harus duduk berjejal di bangku penonton dan durasi pertunjukan yang lama membuat drama gong tidak masuk dalam pilihan hiburan masyarakat saat ini. Masyarakat yang lebih menyukai hiburan yang bersifat lucu seperti lawak, membuat drama gong sedikit menda-patkan porsi di hati masyarakat, karena struktur, dan alur dramatik dari drama gong yang dikategorikan dalam melo-drama. Banyak seniman drama gong berusaha untuk  mengembalikan ketenaran drama gong seperti dulu, mulai dari mempersingkat beberapa adegan, menambah adegan lucu sesuai keinginan masyarakat, dan menambahkan hal-hal asing yang membuat esensi dari drama gong itu pudar dengan sendirinya. Hal tersebut dapat berakibat sangat fatal karena generasi muda pada saat ini sudah disuguhkan suatu jenis drama gong yang kehilangan esensinya. Bahkan pada beberapa seniman muda Bali, bahkan ada yang tidak mengetahui apa itu “Drama Gong”.  Namun kini sejak diparadekanya drama gong dalam ajang Pesta Kesenian Bali, kini drama gong sudah mulai menggeliat,menurut pengamatan Sugita sebagai pengamat drama gong di Pesta Kesenian Bali, terutama di Kabupaten Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Bangli (wawancara, 1 Januari 2015).


Minggu, 08 Maret 2015

Sekdut bali

Seni

Drama Gong Lawak Lucu Bali : Sing Taen Nduk bagian 1



Drama Gong Lawak Lucu Bali : Sing Taen Nduk bagian 2

Sekdut Bali

Sekdut merupakan sebuah komunitas seni yang mengkhusus bergerak dalam bidang seni pertunjukan. sekdut adalah singkatan dari Sekaa Demen Ulihan Tresna, yang berarti sebuah perkumpulan yang ada karena rasa cinta. rasa kecintaan kami terhadap seni, khususnya seni pertunjukan membuat kami berani untuk mengekspresikan diri dalam kancah seni pertunjukan, tentunya dengan tetap berpegang erat pada latar belakang budaya kami, yaitu budaya Bali.



 sekdut sendiri telah berdiri dari tahun 2007 dengan diprakarsai oleh beberapa seniman kawakan Bali yaitu Drs. I Wayan Sugita, M.Si dan I Gusti Putu Yasa. awal pertama berdirinya sekdut adalah saat mengikuti lomba lawak tingkat remaja di Bali TV pada tahun 2007. sejak tahun 2007 sekdut banyak berkecimpung dalam seni pertunjukan tradisi Bali, seperti : babondresan, calonarang, drama gong, tari-tari Bali, dan lain sebagainya. setelah beberapa tahun aktifitas sekdut, kemudian pada tanggal 28 oktober 2014, I Gede Tilem Pastika selaku anak dari I Wayan Sugita, memprakarsai untuk mengembangkan komunitas ini semakin luas. tidak hanya bergerak pada bidang tradisi saja,melainkan sekdut kini bergerak dari tradisi, modern dan kontemporer. banyak kegiatan yang dilakukan oleh komunitas kami, dari rutinitas latihan tari, musik dan teater. sekdut juga sudah menciptakan beberapa karya baik dalam bentuk tradisi hingga kontemporer.