Pages

Rabu, 17 Oktober 2018

Ngurit Latri: Bali Mandara Nawanatya III



Karya ini dipentaskan pada hari Minggu, 14 Oktober 2018, di Kalangan Madya Mandala, Art Centre Denpasar. Konsep garapan ini menggunakan pendekatan kontemporer dengan perpaduan beberapa elemen pertunjukan. System perpaduannya tidak dapat dikatakan blending  seutuhnya namun semi-blending atau kolase yang tetap mempertahankan struktur asli di setiap bagian elemen. Pasantian yang berisikan Juru Tembang dan Juru Artos membawakan 5 (lima) buah pupuh yang akan menjadi guide line dan sekaligus narasi bagi keseluruhan garapan. Pupuh yang digunakan seutuhnya baru dengan mencermati kebutuhan setiap adegan. Elemen lainnya seperti teater, tari, dan yoga diposisikan sebagai unsur visual yang lebih pada peraga dari syair yang dilantunkan pada pupuh.
Cerita yang dibawakan merupakan cerita yang sudah sering diperdengarkan dan dijadikan sebuah garapan pertunjukan oleh beberaa seniman lainnya. Cerita ini bersumber pada kakawin Siwaratri Kalpa yang didalamnya terdapat cerita seorang pemburu yakni I Lubdhaka. Penggunaan cerita ini karena kami ingin mengedepankan konsep mulat sarira. Konsep Mulat Sarira (introspeksi diri) mengajarkan untuk melihat ke dalam diri masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut IHDN yang merupakan Perguruan Tinggi berbasis Agama Hindu menilik potensi-potensi yang ada di dalamnya. Perpaduan dalam visualisasi karya merupakan penggabungan beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di IHDN Denpasar itu sendiri, terdiri dari UKM Tari, UKM Tabuh, UKM Yoga, UKM Tabuh, UKM Dharmagita dan lainnya. Secara langsung kami ingin mengedepankan potensi internal yang ada di lingkungan IHDN Denpasar. Dengan karya ini paling tidak bisa merepresentasikan jati diri IHDN Denpasar, agar terlihat konteks dari keberadaan kampus IHDN sendiri dan agar tidak want a be menjadi atau meniru kampus dengan kontekstual lainnya. Selain itu karya ini juga sebagai ungkapan kegelisahan kami terhadap pemaknaan kata “ Jagra”yang sering diidentikan dengan begadang satu malam pada malam Siwaratri yang memiliki pemaknaan bias dalam peleburan dosa. Sedangkan kenyataan yang terjadi,begadang pada malam Siwaratri hanya dijadikan sebuah moment menikmati malam hingga pagi dengan beragam kegiatan yang positif hingga negative oleh beberapa masyarakat Hindu Bali.
Karya ini didukung oleh 35 mahasiswa IHDN Denpasar dan juga didukung oleh Sekdut Junior sebagai pemain teater 


Jumat, 28 Agustus 2015

Estetika Hindu


A. Pendahuluan
Nilai estetika pada dasarnya mengacu pada wacana yang otonum mengenai yang baik dan indah dalam kesenian. Uraian-uraian mengenai itu dapat dilihat pada karya-karya seni itu sendiri. Dalam kaitan itu dapat pula pembahasan menginjak pada tataran kefilsafatan, misalnya mengupas dari mana asal keindahan seni yang dapat dirasakan orang, ataupun apa hakikat dari kenikmatan seni, serta bagaimana proses penikmatan seni itu. Wacana estetika yang cenderung dianggap umum dan lalu dianggap universal karena berangkat dari kebudayaan Barat, mulai dari sumber-sumber Yunani kuno. Sudah tentu kebenaran estetika tidak dapat dimonopoli oleh sudut pandang Barat. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat relativitas yang terkait dengan kekhasan budaya tiap-tiap bangsa. Beberapa bangsa di dunia telah sejak masa yang jauh silam memperkembangkan pemikiran mengenai seni dan menuangkannya ke dalam teks tertulis. Di antaranya yang banyak diulas dalam literatur ilmiah adalah pemikiran yang telah dikembangkan di India.
Tradisi-tradisi besar telah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara penghayatan seni dan konseptualisasi. Ternyata bahwa pemikiran atau penghayatan seni tak dapat terjadi apabila proses konseptualisasi, baik pada diri seniman maupun penikmat tidak berjalan sempurna. Struktur berkesenian seperti itu bersifat membangun tradisi. Tradisi seni itu pada gilirannya dapat senantiasa diperluas dan diperdalam, baik dengan lebih banyak penciptaan maupun dengan lebih banyak perenungan. Dengan kata lain, adanya kreativitas di dalam tradisi, tidak perlu harus berarti pembubaran atau perusakan tradisi. Wacana estetiknya pun dapat berkembang mengikutinya. Berbeda dengan wacana estetika yang cenderung merupakan sistem yang tertutup itu terdapat apa yang dapat disebut sebagai nilai seni dalam arti bagaimana orang melihat karya seni itu atau kegiatan berkesenian dapat terkait dengan hal-hal atau urusan-urusan di luar kesenian itu sendiri
B. Pandangan Hindu terhadap Estetika
Pandangan Hindu mengenai estetika ditulis oleh Bharata di sekitar abad V dengan bukunya Natyasastra. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa rasa lahir dari manunggalnya situasi ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan secara terus-menerus. Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut: (1) rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya; (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan bunga- bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; (3) pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan; (4) wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat; (5) bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan; dan (6) lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya (lihat Sedyawati 1981:14 dan Sumardjo 2000:337).
Kesesuaian-kesesuaian serta penerapan kaidah seni secara ”lintas-media” yang telah dikaji itu mungkin disebabkan oleh: (a) adanya suatu filsafat dasar seni yang dianut bersama dalam semua bidang kesenian, misalnya yang terpusat pada konsep “rasa”, dan (b) adanya pergaulan akrab selain menyimak di antara para seniman berbagai bidang seni, yaitu mereka dapat saling meminjam kaidah. Hubungan saling meminjam kaidah antar bidang seni itu tidak hanya terjadi dalam lingkup budaya Bali kuna, tetapi terjadi pula pada kebudayaan Bali yang hidup hingga sekarang. Kiranya hubungan itu menjadi bukan lagi saling pinjam, melainkan saling tindih. Seni rupa naratif, misalnya, yang hanya tumbuh dalam gaya wayang (lukisan Kamasan, wayang beber), menjadi tak ada lagi bedanya dengan boneka-boneka wayang yang memang digunakan dalam penyajian teatrikal.
Kaidah-kaidah seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks Hindu berbahasa Sansekerta, yang tentunya diterapkan di dalam praktik mencipkan karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun seni tari dan teater, karawitan dan sastra. Kesenian apapun bentuknya, pada dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman. Sebagai hasil olah rasa, cipta, dan karsa seniman, kesenian tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan nilai luhur budaya, termasuk pula estetika yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal seni yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.
C. Estetika menurut Umat Hindu di Bali
Agama Hindu merupakan unsur yang paling dominan sekaligus roh budaya masyarakat Bali. Agama Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali. Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu. Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani (Dickie 1976) dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik 1999:5). Ada banyak batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai estetika dan batasan yang diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli, hampir semua mengarah ke satu arah yakni menyangkut rasa indah yang membuat kita senang, masgul, terkesima, terpesona, bergairah dan bersemangat. Disadari atau tidak di dalam kehidupan sehari-hari semua umat manusia yang masih terikat dengan keduniawian membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis. Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait yakni objektivitas dan subyektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, sedangkan sisi yang ke dua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif ini.
Penilaian terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik- buruk) yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu, di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma-norma baik-buruk yang berlaku.
Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu seperti; konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan. Konsep Kesucian (Shiwan) pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu, seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para pemuka agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari segala keindahan. Di India, Tuhan dalam wujudnya sebagai Siwa Nataraja dengan tari kosmisnya dikatakan sebagai pencipta musik dan tari sekaligus pencipta seni yang Maha Agung. Atas kepercayaan ini umat Hindu percaya bahwa segala sesuatu yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan.
Sebagai insan yang percaya akan kemahaesaan Hyang Widhi, orang Hindu percaya bahwa kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban umat Hindu untuk mempersembahkan kembali hasil ciptaan-Nya. Di sini kita melihat kesenian disajikan kepada Tuhan. Semua jenis kesenian yang merupakan persembahan kepada Tuhan dikatagorikan sebagai kesenian sakral. Pada saat yang bersamaan kesenian yang sama menjadi sajian kepada manusia (human audience), sebagai suatu persembahan dalam bentuk tontonan atau hiburan bagi masyarakat. Semua jenis kesenian yang disajikan sesama manusia dikatagorikan kesenian sekuler. Patut dicatat bahwa dalam derajat tertentu semua kesenian ini memiliki kekuatan spiritual, hanya ruang dan tempat penyajiannya mempunyai kualitas “spiritual” yang berbeda.
Di kalangan masyarakat Hindu di Bali, kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok: (1) kesenian wali (sacred religious art), dan (2) kesenian bebali (ceremonial art). Kesenian wali mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itulah telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Yadnya merupakan korban suci mencakup penyerahan diri dan olah spiritual lainnya yang sering kali melibatkan upacara-upacara ritual. Berdasarkan atas keyakinan bahwa kesenian ciptaan Tuhan, seniman Bali menjadikan kesenian sebagai sebuah persembahan atau yadnya, untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja dapat memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, melainkan juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu sendiri, yaitu Tuhan yang sering dikatakan memiliki sifat-sifat satyam (kebenaran), shiwan (kesucian), dan sundaram (keindahan).
Kebenaran (satyam) mencakup nilai kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan. Sesuai dengan ajaran agama Hindu, persembahan dan yadnya yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, dilaksanakan dengan penuh kejujuran hati, rasa tulus, dan niat yang sungguh-sungguh. Dengan ini dimaksudkan bahwa persembahan atau yadnya apa yang mereka lakukan, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, bukan karena pura-pura untuk mendapatkan simpati masyarakat, atau atas dasar rasa pamrih supaya mendapat pahala yang lebih besar dari Tuhan atau imbalan lainnya dari masyarakat, serta melakukannya tidak dengan disertai rasa bakti yang tulus. Hanya atas dasar kejujuran seperti inilah persembahan dan yadnya yang dilakukan masyarakat akan diterima oleh Tuhan.
Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terrefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian baik dalam seni dua dimensi dan seni tiga dimensi. Dengan konsep keseimbangan ini dapat dilihat bagaimana penganut agama Hindu menggunakan nilai-nilai estetik untuk menciptakan dan mencapai kehidupan yang damai. Refleksi estetis dengan konsep keseimbangan yang berdimensi dua dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula semangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan interaksi dan persaingan.
Refleksi keseimbangan dalam seni tiga dimensi sangat terkait dengan konsep kosmologi Hindu yang membagi dunia ini menjadi tiga bagian: atas, tengah, dan bawah yang disebut tri bhuwana. Dunia bawah disebut bhur loka, adalah dunia bhutakala, dunia tengah disebut bhwah loka adalah dunia antara manusia dengan seisi alam semesta, swah loka adalah dunia Tuhan dan para Dewata. Karena alam atas dan alam bawah adalah alam maya, maka keduanya disebut alam niskala, sedangkan dunia tengah yang nyata disebut sebagai alam sekala. Konsep ini sangat mempengaruhi cara seniman Bali dalam menggunakan ruang vertikal dalam karya seni mereka.
D. Simpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas maka, berikut ini disampaikan beberapa simpulan;
Pertama, pandangan Hindu terhadap estetika tertuang dalam buku Nitya Sastra. Rasa lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelaku berkesenian. Dalam rumusan estetika Hindu, suatu hasil seni untuk bisa dianggap indah dan berhasil apabila dapat memenuhi sad angga (enam rincian) yaitu; (1) rupabheda, (2) sadrsya, (3) pramana, (4) wanikabangga, (5) bhawa, dan (6) lawanya.
Kedua, kosmologi budaya masyarakat Bali dalam kehidupannya senantiasa berorientasi terhadap keseimbangan alam jagad raya baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dan sikap ini diantisipasi dengan melakukan laku upacara ritual dan etika dalam berhubungan bermasyarakat yakni hubungan serasi dengan Hyang Widi, dengan alam lingkungan, dan hubungan harmonis dengan sesama manusia.
Ketiga, estetika Hindu masyarakat Bali adalah cara pandang tentang keindahan yang diikat oleh nilai-nilai spiritual yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Prinsip-prinsip keindahan didasari oleh konsep-konsep kesucian, kebenaran, dan keseimbangan. Implementasi estetika masyarakat Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kebenaran selalu disajikan melalui lakon-lakon dalam sendratari, drama gong, lukisan, yang dibuat atau ditata sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak; yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur dan sebagainya. Lakon ini biasanya dipentaskan dalam pertunjukan wayang kulit, drama tari Calonarang dan lain-lain, dan biasanya berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar. Konsep-konsep lain yang mendukung estetika Hindu di Bali, ialah konsep kepercayaan, skala-niskala, trihita karana, desa kalapatra, karmaphala, dan konsep taksu dan jengah.
E. Daftar Pustaka
Bagus, I G N. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Kebudayaan Bali). Koentjaraningrat (Ed). Jakarta: Penerbit Djambatan.
Bandem I Made dan Nyoman Rembang. 1976. Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar: Proyek Pengalian, Binaan dan Pengembangan Seni Klasik Tradisional dan Baru.
Bandem IM and Frederik Eugene de Boer. 1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kualalumpur: Oxford University Press.
Covarrubias M. 1972. Island of Bali. New York: Oxford University Press
Daniel, T (Ed), 1993. Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta : Harian Umum Suara Karya dan Cita Budaya.

Djelantik, AAM. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Eisemar, F B. 1989. Sekala and Niskala, Volume I : Essays On Relegius, Ritual and Art. Singapore : Periplus Editions.

--------------. 1990. Sekala & Niskala Vol II: Essays on Society, Tradition, Craft. Singapore :
Periplus Editions.
Ginarsa. K . 1977. Gambar Lambang. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.
Kanta, I M. 1977. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar : Sasana Budaya Bali.

Kartika S, D dan Nanang Ganda Perwira. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Penerbit Rekayasa Sains Press.

Puja, I G. 1984. Agama Hindu. Jakarta: Mayasari.
Sedyawati Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Soedarso. SP. 1990. Tinjauan Seni sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta : Saku Dayar Sana.

Soedarsono, 1972. Djawa dan Bali dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutrisno, M. FX dan Verhaak Christ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Titib, I M. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Yudha IBG (Ed). 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali (Simbol, Filsafat, Signifikansinya dalam Kesenian), Yudha IBG (Ed). Denpasar: Percetakan Mabhakti.

Kamis, 26 Maret 2015

Tari Gambyong Pareanom


BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang
Kebudayaan Jawa terbentuk oleh dua tradisi yang disebut dengan tradisi besar (Kebudayaan tinggi) dan tradisi kecil (Kebudayaan rendah). Keduanya memunyai perbedaan yaitu tradisi besar diolah di kuil-kuil dan dapat pula dikatakan kebudayaan peradapan kota, sedangkan tradisi kecil berlangsung didalam komunitas desa. Secara singkat dapat disebut tradisi besar terdapat di istana dan kota, sedangkan tradisi kecil di daerah pedesaan. Namun kedua tradisi tersebut saling bergantung dan mempengaruhi.
Seperti contoh tari gambyong yang merupakan tradisi kecil yang berkembang menjadi tradisi besar. Pada mulanya tari ini lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang kemudian berkembang di istana. Tari gambyong memiliki berberapa jenis yaitu Gambyong, Gambyong Pareanom dan  Gambyong Padhasih (Nyi Bei Mintoraras), Gambyong Pancerana (S.Ngaliman), Gambyong Mudhatama (Sunarno), dan Gambyong Pangkur  Langenkusuma ( R.T Rono Suripto ).  Ada dua versi tari gambyong pareanom  yaitu versi Mangkunegaraan dan versi ASKI/PKJT. Dalam menganalisis kali ini menggunakan Tari gambyong pareanom versi ASKI/PKJT, karena struktur gerak dan iringannya cukup mudah serta video pertunjukannya mudah didapat dari internet dan buku pandauan. Sehingga dalam menganalisis tari ini lebih mudah dan cepat dalam penyelesaiannya.


2.     Rumusan Masalah
2.1  Bagaimana struktur geak tari gambyong pareanom ?
2.2  Apa saja nama gerakan yang ada pada Gendhing Gambirsawit kethuk 4 kerep sepanjang 2 gong ?
2.3  Apa saja fungsi pada gerakan tersebut ?

3.     Tujuan
3.1  Mengetahui dan menambah pengetahuan tentang tari gambyong pareanom
3.2  Mengetahui struktur gerak yang ada pada setiap iringan gendhing tari gambyong pareanom
3.3  Melestarikan tari gambyong pareanom

BAB II
PEMBAHASAN

a.     Sejarah
Istilah gambyong mulai digunakan dalam serat Centhini yang ditulis abad XVIII. Bentuk pertunjukan tari teledhek yaitu menampilakan penari dan penyanyi (Tembang) atau sering disebut dengan angigel angidung.  Nama gambyong semula adalah nama seorang warangganaI yang pandai menari dengan sangat indah dan lincah yaitu Mas Ajeng Gambyong. Pada zaman pemerintahan Susuhan Paku Buwono IV, tari gambyong mendapatkan perubahan pada koreografinya dengan mengubah gerakan dari tari teledhek menjadi gerakan yang sesuai dengan kaedah-kaedah pada tarian keraton. Setelah itu, tahun 1950 munculah tari gambong pareanom susunan dari Nyi Bei Montoraras. Tari ini memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk tari gambyong sebelumna, baik dari susunan tari, iringan, tata rias, dan busananya. Bentk tari gambyong pareanom ini disusun berdasarkan tari Serimpi, tari Golek, dan Gambyong dengan berpijak pada kaedah tari istana.
Secara lahiriah tari gambyong pareanom menampilkan tentang keprigelan wanita yang meliputi tregel (lincah), kenes (genit), kewes (lemah gemulai), luwes (tidak canggung), prenes (lincah), dan berag (gembira). Fungsi dari tari gambyong pareanom adalah sebagai hiburan masyarakat Jawa yang disajika dalam acara hari ulang tahun kenegaraan, pernikahan, dan khitanan. Fungsi tari gambyong dalam kehidupan masyarakat dulunya berfungsi sebagai pertunjukan hiburan bagi Sinuhun Paku Buwono keenam dan tari untuk penyambutan tari penyambutan ketika ada tamu kehormatan berkunjung ke Kesunanan Surakarta , sedangkan sekarang berkembang sebagai hiburan pertunjukan bagi masyarakat luas Biasanya, tari Gambyong dimainkan ketika warga Jawa Tengah menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Sebagai promosi budaya Jawa Tengah, Gambyong juga seringkali dimainkan di beberapa daerah selain Surakarta.

b.     Struktur Gerak dan Iringan
Gerak tangan pada Tari Gambyong Pareanom versi ASKI/PKJT dengan Ciblon gendhing Gambirsawit, kethuk 2 kerep 2 gongan :
1.     Batangan, pada 3 ½ gatra kenong I
2.     Magak, pada ½ gatra kenong I
3.     Ukel pakis, pada ½ gatra kenong 2 dan 2 ½  gatra kenong III
4.     Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong III
5.     Penthangan kanan ogek lambung, pada 2 ½ gatra kenong III
6.     Magak, pada ½ gatra kenong IV
7.     Kawilan menthang kiri, pada 2 ½ gatra kenong IV
8.     Tumpang Tali glebegan, pada 1 gatra kenong IV
9.     Tumpang Tali glebegan (lanjutan), pada 2 ½ gatra kenong I
10.  Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong I
11.  Magak, pada ½ gatra kenong I
12.  Tawing taweng ogek lambung, pada 1 gatra kenong I dan 2 ½ gtra kenong II
13.  Singget ukel karna, pada 2 ½ gatra kenong II
14.  Magak, pada ½ gatra kenong II
15.  Tumpang tali kengseran, pada 1 gatra kenong II dan 2 ½ gatra kenong III
16.  Singget ukel karna, pada 1 ½ gatra kenong III
17.  Magak, pada ½ gatra kenong IV
18.  Kawilan menthang kiri, pada 2 ½ gatra kenong IV

c.     Definisi dan Fungsi
1.     Ciblon
Merupakan sebuah iringan pada bagian tari gambyong ( variasi kendangan ) atau berketimpungan yang menggambarkan persetubuhan pria dan wanita.
2.     Batangan
Istilah “batangan” berasal dari kata mbatang (bahasa Jawa) yang mempunyai arti meramalkan dan dalam konteks ini berarti meramalkan masa depan sang bayi. Gerak ini dilakukan dengan berpindah tempat. Atau bisa dikatakan, mengungkapkan tentang anak yang diharapkan dan akan dilahirkan. Gerakannya mengalun kedua lengan, dilakukan brgantian oleh lengan kanan dan kiri, yang diikuti gerak vertikal dari seluruh tubuh
3.     Magak
Berdiri dalam posisi tanjak, lengan kiri terentang ke sisi tubuh, dengan siku kanan ditekuk, tangan kanan di depan pusar, dan disertai kepala
4.     Ukel pakis
Kedua tangan di depan pusar, tnagan kiri ngithing dan telapak tangan menghadap ke bawah. Tanga kanan diputar di bawah tangan kiri, telapak tangan menghadap k eats dan ke bawah dalam gerak yang berkesinambungan. Gerak ini dilakukan dengan kombinasi gerak tubuh dan kepala mengikuti pola irama permainan kendang. Gerak ini menggambarkan kedamaian hidup.
5.     Singget ukel karna
Gerak tangan kanan mengibaskan sampur ke samping kanan, kemudian diangkat di samping telinga kanan dan memutar pergelangan tangannya diikuti hentakan kaki kiri. Gerak ni dignakan sebagai transisi rangkaina gerak pokok dengan berikutnya. Gerakan ini menggambarkan kemarahan atau sekatan.
6.     Penthangan kanan ogek lambung
7.     Kawilan menthang kiri
Bediri dengan kedua lutut ditekuk, lengan kiri terentang ke samping, sementara itu lengan kanan dilipat dengan tangan di depan pusar aau memegangi sampur, lutut diayun turun naik dengan melipat dan meluruskan sendi lutut secara lembut, dengan mengikuti irama kendang
8.     Tumpang tali glebegan
Tumpang ( terletak di atas ), maju kaki kanan, tangan kanan bergerak ke pinggul kiri dan tangan kiri di atas tangan kanan, dengan telapak tangan saling berhadapan dan kedua siku melipat, tubuh condong ke kiri, kemudian maju kiri, tangan kiri bergerak ke pinggul kiri dan tangan kanan di atas tangan kiri. Gerakan ini dipadukan dengan membalikan tubuh ke samping kanan dan kiri. Menggambarkan kesenangan dari apa yang diharapkan.
9.     Tawing taweng ogek lambung
Tangan kanan dan kiri berada di depan dada dengan sikap ngrayung, dilakukan secara bergantian di atas dan di bawah dipadukan dengan gerak badan goyah ke kanan dan ke kiri. Gerak ini menggambarkan kesigapan dari pasangan dan kebahagiaan.
10.  Tumpang tali kengseran
Gerakan ini sama dengan Tumpang tali glebegan namun tumpang tali kengseran dipadukan dengan gerak kengser yaitu gerak menyeret atau menggeser kaki ke aping dengan mengangkat berganti-ganti tumit dan jari-jari kaki. Gerak ini menggambarkan tergeliat atau terpelecok.